Advertise

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Jumat, 20 Februari 2015

Tuhan: Kebenaran Sejati

0 komentar


Kebenaran berharga tak ternilai, bahkan tidak bisa ditukar dengan nyawa sekalipun. Hadhrat Bilal ra. yang menemukan Kebenaran Sejati dalam ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. rela disiksa sampai kritis oleh kaum kafir Quraisy demi kebenaran yang diyakininya. Begitu pula dengan Mln. Abdul Latif dari Afganistan, yang bertahan pada kebenaran Sejati yang disampaikan Imam Mahdi, Penerus Perjuangan Suci Nabi Muhammad saw, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. dan ikhlas disyahidkan dengan cara dirajam atas perintah penguasa kejam Afganistan, Habibullah Khan.



Bagi orang beriman, Kebeneran Sejati itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta'ala. Tuhan adalah sebuah Realitas Yang Abadi. Sebuah Realitas yang tidak akan pernah berubah bahkan dalam kondisi lingkungan semesta yang berubah.

Dalam sebagian manifestasi-Nya di alam semesta ini, Kebenaran Sejati itu nampak dalam diri para Nabi. Kebenaran yang diraih oleh seorang Nabi sangat berbeda jauh dengan kebenaran yang diraih oleh para ahli filsafat. Jika para ahli filsafat mencari kebenaran dengan mengandalkan rasionalitas, fakta, memanfaatkan kata-kata dan kalimat, serta bukti otentik, maka seorang Nabi mendapat petunjuk pada Kebenaran Sejati itu langsung dari Tuhan, melalui Wahyu, Kasyaf dan Ilham.

Dalam wahyu Tuhan, Kebenaran Sejati itu adalah Tuhan sendiri. Dan inilah yang diimani oleh kaum Mukmin sepanjang jaman.

Rene Descartes yang dijuluki "Bapak Filsafat Modern" dan peletak dasar aliran rasionalisme, berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan pada sebuah kebenaran itu adalah rasio atau akal. Dalam hal memanfaatkan akal secara maksimal untuk mencari kebenaran, pendapat Descartes sangat sesuai dengan perintah Allah Ta'ala dalam Al Quran. Kata "akal" dalam Al-Quran disebut sebanyak 49 kali. Seluruhnya dalam bentuk fiil mudhari ; kecuali satu yang berbentuk fiil madhi.

Al-Quran menyebutkan "akal" dalam maknanya sebagai 'aktivitas menggunakan akal', yaitu seruan yang mengajak kita untuk menggunakan akal melalui aktivitas berfikir, mengamati, memahami dan mempelajari segala sesuatu guna mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap kejadian dan semacamnya sebagai jalan menuju Kebenaran Sejati, yaitu Tuhan Yang Maha Tinggi.

Sedangkan Descartes menempatkan ego individual dan kemerdekaan akal manusia lebih tinggi di atas wahyu dari Allah. Dia sangat mengagungkan rasionalitas dan penggunaan akal secara total. Dalam renungan filosofinya itu, dia pun munculkan teori filsafat "Aku berfikir, maka aku ada".

Memang Descartes akhirnya mengakui eksistensi Tuhan dengan penjelasannya; "Sebab harus lebih besar, sempurna. dan baik dari akibat". Tapi akhirnya dia terjebak pada pendapat Tuhan adalah suatu mahluk sempurna yang tak terhingga.

Para Nabi tidak hanya menyampaikan konsep tentang ajaran Ketuhanan yang benar tapi juga sebagai wujud 'Tali' Tuhan di dunia. Layaknya sebuah tali yang berfungsi untuk menghubungkan antara dua benda, begitu pula seorang Nabi memiliki peran untuk menghubungkan mahluk dengan Khalik-nya.

Orang-orang yang beruntung mendapat pengetahuan Kebenaran Sejati melalui para Nabi dan sekuat tenaga mentaati ajaran mereka, bisa memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan. Tingkah laku mulia mereka yang mendekati prilaku mulia Nabi yang mereka ikuti itu menjadi bukti sekaligus sarana untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Maka tidak heran jika Hadhrat Bilal ra. dan Mln. Abdul Latif ra. rela mengalami siksaan pedih dari para pendosa karena sudah menjadi saksi mata dari sebuah penampakan kebesaran dari Kebenaran Sejati yang dikenal oleh para Nabi.

Selama Tuhan Sendiri yang berkehendak untuk menampakkan Kebenaran-Nya itu, maka tidak ada satu pun kekuatan yang akan mampu menghalangi-Nya untuk mengutus Nabi-Nya. Dalam sudut pandang ini, seorang Nabi itu sangat dibutuhkan oleh umat manusia demi untuk mengenal secara benar Tuhan Yang Maha Esa sepanjang jaman hingga Hari Akhir.

Benar, Kitab Suci yang sangat sempurna (AL-Quran) itu ada, tapi dalam perkembangan zaman yang terus berbeda ia memerlukan orang untuk bisa 'menyentuh' isinya yang sangat dalam itu. Al-Quran sendiri menyebut, hanya orang-orang yang disucikan oleh Allah Ta'ala saja yang mampu menangkap dan mengurai kebenaran Al-Quran secara jitu dan tentu saja orang pilihan Tuhan yang dimaksud itu berlevel rohani Nabi.

Akhirnya, Kebenaran Sejati yang diraih oleh manusia atas perantara para Nabi yang mendapat petunjuk langsung dari Tuhan, nilainya lebih tinggi dari kebenaran yang diraih oleh para filsuf. Kebenaran yang disampaikan oleh para Nabi memiliki daya pensucian (quwwatun qudsiyah) yang berpengaruh pada revolusi perilaku mulia manusia, sedangkan kebenaran yang disampaikan oleh para filsuf hanya berpengaruh pada pola pikir individu yang terbatas.

sumber : edaran khusus

Leave a Reply

 
Ahmadiyahjabar © 2014 | Designed By Blogger Templates